Kamis, 10 Oktober 2013

REVIEW KONFERENSI INTERNASIONAL AGAMA DAN TELEVISI DI INDONESIA


Diaz Azis, Anis Kh, Oktaviani, Afina A, Ratnawati, Siti, Wulan, Epy, TIsha, Hardika Dwi Hermawan
Konferensi Internasional
Konferensi Internasional Agama dan Televisi di Indonesia diselenggarakan oleh Indonesian Consortium For Religious Studies (ICRS). Konferensi dihadiri lebih dari 200 peserta dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi. Konferensi yang diselenggarakan di Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini berlangsung mulai pukul 08.00 – 16.00 WIB.



Konferensi Internasional Agama dan Televisi dilatar belakangi adanya era baru media Indonesia yang ditandai dengan munculnya liberalisasi media melalui UU No. 40/1999.

Pada masa Orde Baru, control pemerintah terhadap media sangat ketat. SIaran keagamaan sangat dibatasi dan diarahkan untuk menjustifikasi berbagai kepentingan politik. Setelah 15 tahun pasca jatuhnya Orde Baru, media Indonesia berkembang secara pesat. Media-media televisi berlomba-lomba memberikan hiburan yang paling menarik bagi pemirsanya. Beragam acara keagamaan di televisi bermunculan dengan format baru yang disertai dengan berbagai iklan memikat yang mensponsori acara-acara tersebut. Pada bulan puasa, terlihat jelas bagaimana televisi berlomba mensyiarkan Islam melalui media, menghadirkan artis-artis terkenal dan memberikan berbagai hadiah untuk pemirsa. Selain quiz, stasiun televisi juga membuat beragam program khusus seperti sinetron Islami, music keagamaan, lomba bacaan Alquran dan lain-lain.



DI satu sisi, kebebasan pers mendorong para praktisi media untuk lebih kreatif mengembangkan pesan-pesan via media. Namun di sisi lain, kebebasan media juga menimbulkan berbagai persoalan, diantaranya ekploitasi, sensasionalisme dan persoalan etika.

Pada banyak  acara keagamaan, misalnya, komodifikasi menjadi sangat nyata. Perbedaan antara tontonan dan tuntunan juga semakin menipis, sehingga munculah istilah dakwahtainment. Di sini, pada dai tampil dalam acara-acara tersebut sering menjadikan lelucon sebagai saranan tontonan, dan menafikan tuntunan yang seharusnya menjadi hal yang lebih utama. Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai lembaga resmi yang memiliki hak dan memonitor konten televisi dan radio, sering memberikan peringatan dan sanksi kepada stasiun televisi yang cenderung mendangkalkan pemikiran dan bahkan terkadang juga mempermainkan agama.

Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) sebagai lembaga pendidikan S3 dalam bidang Inter-Religious Studies (Studi Lintas Agama), memiliki kepedulian terhadap persoalan etika tayangan keagamaan di televisi. Berangkat dari Action Research yang dilakukan secara intensif selama tahun 2012, salah satu rekomendasinya adalah untuk menyelenggarakan seminar untuk membahas hubungan agama dan televisi. Seminar ini mendapat dukungan dari Globethics.net, sebuah jaringan etika seluruh dunia yang berbasis di Jenewa, yang menyediakan platform elektronik untuk dialog, refleksi, dan aksi tentang etika di situs internet.

Staf Ahli Kemenminfo, Dr. Henry Subiakto, SH., M.A. dalam sambutannya menjelaskan bahwa media televisi sekarang telah menjadi panggung promosi para Dai yang berdampak pada “
  1. Munculnya fenomena dai selebriti dan dai dadakan
  2. Muncul kesan komersialisasi agama
  3. Dakwah sebagai komoditas hiburan
  4. Substansi agama sebagai tuntutan dikalahkan dengan aspek “tontonan”
Staf Ahli Kemenminfo tersebut juga menyampaikan saran yang harus dilakukan kalangan agama menanggapi masalah dakwahtainment tersebut, diantaranya :

1.       Revitalisasi Dakwah

2.       Antisipasi perkembangan ICT

3.       Diversivikasi dakwah

4.       Perkuata penguasaan dan penggunaan ICT

5.       ICT Literasi di masyarakat

6.       Mengkritisi Pelaksanaan Liberalisasi

Dicky Sofian, Ph.D sebagai pemakalah dalam konferensi tersebut menyampaikan action research dari penelitian selama tahun 2012 diantaranya :

  1. Transforming knowledge into action
  2.  Science nor for the sake the science
  3. Prescriptive approach to social science, improving social condition
  4. The so-called of “problem” in action reseach
Dicky Sofian juga menekankah apakah dakwah itu panggilan hati atau sebuah profesi? Bapak dicky menyampaikan beberapa rekomendasinya untuk stakeholders, ministry of religions affairs, MUI, Kemenminfo, Islamic/Religious Organization and academic also KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).

Pemakalah lain yaitu bapak Idy Muzayyad dari KPI juga menjelaskan terkait globalisasi yang menyebabkan global village sekaligus global pillage (penindasan). Kecenderungan penyiaran agama adalah parial à komersialisasi à Kreatifitas (Isrof) à Bias à Orientasi Rating à Problem Kompetensi.

Menurut saya, materi paling menarik adalah materi dari ustads Yusuf Mansyur yang menyampaikan pandanganya terhadap fenomena dakwahtainment. Bagian menarik lainnya  adalah sesi terakhir dan saya memilih untuk mengikuti sesi C yaitu Dakwahtainment, mendidik atau tidak? Dimana ibu Nina Muthmainnah Armando dari Universitas Indonesia mempresentasikan makalahnya terkait fenomena ulama penghibur.

Ibu Nina menjalskan bawah fenomena ulama penghibur jumlahnya semakin banyak di layar kaca, membawa unsur novelty ( baru, keluarbiasaan, ketidakbiasaan ) antara lain :

1.       Secara fisik menarik

2.       Lucu/kocak/suka melawak

3.       Bisa bernyanyi

4.       Bias berbantun

4 pioint diatas disajikan dengan contoh langsung para dai yang sering kita jumpai di televisi. Selain fenomena ulama penghibur, ibu Nina juga menyampaikan bahwa para ulama itu kerap berpotensi melakukan pelanggaran etika disaat mereka larut menjadi bagian dari pertunjukan dan tidak menyadari tentang TV sebagai media pblik : khalayak luas dan beragam serta yang terakhir adalah tidak memahami aturan penyiaran. Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga dicontohkan dalam tanyangan nyata yang ada di televisi.

Begitulah kiranya materi dari Konferensi Internasional yang saya ikuti. Dalam Konferensi Internasional ini juga dilakukan peluncuran website dan buku “Agama dan Televisi di Indonesia : Etika seputar Dakwahtainment” serta penandatanganan MoU ICRS bersama KPID DIY.

0 komentar:

Karna hidup punya banyak rasa untuk harimu