Minggu, 13 Februari 2011

Sang Bocah Mengemis Demi Orang Tua Pemalas

Setiap hari aku selalu melewati jalan yang sama menuju tempat mencari nafkah. Banyak hal yang selalu aku perhatikan dalam perjalananku, baik ketika berangkat maupun pulang kerja. Dua tempat yang paling menarik perhatianku adalah suasana di sekitar simpang empat Matraman dan sekitar Tugu Pancoran Jakarta Selatan. Di tempat itulah aku melihat rutinitas yang sama dan aktivitas yang selalu sama dengan hari sebelumnya.

Aku perhatikan suasana hiruk pikuk manusia yang begitu ramai di lokasi tersebut. Kendaraan, pedagang asongan, pengamen dan tentunya pengemis yang berkeliaran mencari rejeki. Diantara semuanya, tatapanku selalu tertuju pada pengemis kecil yang mendatangi setiap kendaraan yang berhenti. Mereka kadang sendirian namun seringkali juga berduaan. Pengemis kecil dengan pakaian yang agak kotor dan usia mereka yang masih jauh di bawah umur. Aku perkirakan usia mereka sekitar dua sampai tiga tahunan. Sebenarnya hatiku tidak tertahankan sedihnya melihat kehidupan mereka. Tapi bagaimana pun juga, memang jalan seperti itulah yang mereka tempuh.

Berbicara tentang pengemis, banyak cara-cara yang mereka lakukan untuk menarik perhatian setiap pengendara yang lewat. Ada sesama anak kecil yang saling berpegangan tangan, mungkin ceritanya “Inilah saya seorang pengemis kecil, inilah saya yang miskin dan inilah adikku yang sengsara”. Ada juga seorang pengemis kecil yang menggendong adiknya, mungkin ceritanya ” Inilah saya yang fakir dan inilah adikku yang tak punya orangtua”. Begitu juga dengan seorang Ibu yang menggendong anaknya dan tunanetra yang dituntun. Semuanya menghiasi dan menambah semarak di sekitar lampu merah tersebut.

Menurut obrolan dari mulut ke mulut, sebenarnya mereka adalah anak-anak yang masih memiliki orang tua, namun memang ada juga yang benar-benar tidak memiliki orang tua. Ada juga yang mengatakan, bahwa anak yang mereka bawa bukanlah anak mereka sendiri, melainkan menyewa kepada orang tua yang menyewakan anaknya. Dan tarifnya pun sangat memilukan hati. Mereka ada yang menyewakan anaknya dengan tarif sekitar Rp. 20.000 sampai Rp. 30.000 per hari. Aku pernah menonton salah satu tayangan tentang kehidupan para pengemis ini pada salah satu tayangan televisi. Mereka (dengan identitas dirahasiakan) mengatakan bahwa anak yang mereka bawa adalah menyewa dari orang lain dengan tarif Rp. 30.000 sehari termasuk memberikan anak itu makan dan minumnya.

Untuk mereka yang menggunakan trik anak kecil sebagai objek perhatian masyarakat terutama para pengendara, aku lebih cenderung pada orang tua yang menyuruh anaknya sendiri mengemis. Di sekitar simpang empat Matraman, aku sering melihat seorang lelaki dengan badan yang masih segar bugar, aku perkirakan usianya sekitar 40-45 tahun. Dia sedang menerima setoran dari pengemis-pengemis kecil yang memilukan. Entahlah, apakah dia itu bapaknya atau orang yang sengaja memeras keringat anak kecil untuk mengemis. Waktu aku lihat, dia itu berada di bawah jembatan layang di sekitar taman kecil. Entah berapa kali aku melihat pemandangan seperti ini.

Lain halnya dengan suasana di sekitar lampu merah Tugu Pancoran. Aku sering mendapati suasana agak ramai di bawah pohon sekitar taman. Pertama aku melihat, batinku berkata “Keramaian apa yang sedang terjadi di bawah pohon tersebut?”. Akupun menyempatkan untuk memperhatikan mereka. Dan ternyata ada beberapa ibu-ibu yang sedang menerima setoran dari pengemis kecil lalu mereka asyik menghitung hasil mengemis sang bocah.

Jika memang mereka adalah orangtuanya sendiri, sungguh hina perbuatan orang tua seperti ini. Mereka hanya duduk sambil menanti anaknya membawa hasil mengemisnya. Mereka telah menanamkan moral untuk selalu meminta dan mengemis di jalanan pada anaknya sendiri, sedangkan mereka hanya diam dan menunggu. Mereka memanfaatkan bocah kecilnya untuk mengisi perutnya yang lapar dan mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.

Entahlah, apa yang ada dalam pikiran orang tua seperti itu. Mungkin dia memang orang tua pemalas dan tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan anaknya. Mungkin dia berpikir “Buat apa punya anak kalau tidak bisa menghasilkan uang?”. Mungkin juga dia berpikir “Biarkan sang anak mencari rejekinya sendiri biar kelak bisa mandiri”. Atau mungkin juga dia berpikir “Biarkan dia merasakan bahwa mencari uang itu susah”.

Apapun alasannya, bagiku semuanya tidaklah menjadi suatu pembenaran. Karena pada hakikatnya, kehidupan bocah-bocah kecil itu adalah masih menjadi tanggung jawab orang tuanya. Mereka harus membesarkan anak-anaknya dengan keringatnya sendiri dan mereka harus bertanggung jawab terhadap semua kebutuhan anaknya. Lain halnya ketika suatu saat nanti anaknya telah tumbuh dewasa.

Dari realita kehidupan di atas, memberikan pelajaran pada kita selaku orang tua agar menanamkan hal-hal yang baik dan terpuji pada anaknya. Janganlah menjerumuskan anak-anak kita pada kehinaan dan kenistaan. Usahakan dan tanamkan pada anak-anak kita agar suatu saat nanti, tangannya selalu berada di atas bukan menjadi di bawah. Karena tangan di atas (memberi) jauh lebih mulia dibandingkan dengan tangan yang selalu berada di bawah (meminta). Semoga kita akan selalu menjadi golongan orang-orang yang tangannya selalu berada di atas. Semoga kita semua menjadi orang-orang yang beruntung, Amin.

By : Makna Hidup
*** Indahnya menjadikan hidup lebih bermakna ***

Karna hidup punya banyak rasa untuk harimu