Diaz Azis, Anis Kh, Oktaviani, Afina A, Ratnawati, Siti, Wulan, Epy, TIsha, Hardika Dwi Hermawan Konferensi Internasional |
Konferensi Internasional Agama
dan Televisi di Indonesia diselenggarakan oleh Indonesian Consortium For
Religious Studies (ICRS). Konferensi dihadiri lebih dari 200 peserta dari
berbagai latar belakang keilmuan dan profesi. Konferensi yang diselenggarakan
di Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini berlangsung mulai pukul
08.00 – 16.00 WIB.
Konferensi Internasional Agama
dan Televisi dilatar belakangi adanya era baru media Indonesia yang ditandai
dengan munculnya liberalisasi media melalui UU No. 40/1999.
Pada masa Orde Baru, control pemerintah
terhadap media sangat ketat. SIaran keagamaan sangat dibatasi dan diarahkan
untuk menjustifikasi berbagai kepentingan politik. Setelah 15 tahun pasca
jatuhnya Orde Baru, media Indonesia berkembang secara pesat. Media-media
televisi berlomba-lomba memberikan hiburan yang paling menarik bagi pemirsanya.
Beragam acara keagamaan di televisi bermunculan dengan format baru yang
disertai dengan berbagai iklan memikat yang mensponsori acara-acara tersebut.
Pada bulan puasa, terlihat jelas bagaimana televisi berlomba mensyiarkan Islam
melalui media, menghadirkan artis-artis terkenal dan memberikan berbagai hadiah
untuk pemirsa. Selain quiz, stasiun televisi juga membuat beragam program
khusus seperti sinetron Islami, music keagamaan, lomba bacaan Alquran dan
lain-lain.
DI satu sisi, kebebasan pers
mendorong para praktisi media untuk lebih kreatif mengembangkan pesan-pesan via
media. Namun di sisi lain, kebebasan media juga menimbulkan berbagai persoalan,
diantaranya ekploitasi, sensasionalisme dan persoalan etika.
Pada banyak acara keagamaan, misalnya, komodifikasi
menjadi sangat nyata. Perbedaan antara tontonan dan tuntunan juga semakin
menipis, sehingga munculah istilah dakwahtainment.
Di sini, pada dai tampil dalam acara-acara tersebut sering menjadikan lelucon
sebagai saranan tontonan, dan menafikan tuntunan yang seharusnya menjadi hal
yang lebih utama. Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai lembaga resmi yang
memiliki hak dan memonitor konten televisi dan radio, sering memberikan
peringatan dan sanksi kepada stasiun televisi yang cenderung mendangkalkan
pemikiran dan bahkan terkadang juga mempermainkan agama.
Indonesian Consortium for
Religious Studies (ICRS) sebagai lembaga pendidikan S3 dalam bidang Inter-Religious Studies (Studi Lintas
Agama), memiliki kepedulian terhadap persoalan etika tayangan keagamaan di
televisi. Berangkat dari Action Research yang
dilakukan secara intensif selama tahun 2012, salah satu rekomendasinya adalah
untuk menyelenggarakan seminar untuk membahas hubungan agama dan televisi. Seminar
ini mendapat dukungan dari Globethics.net, sebuah jaringan etika seluruh dunia
yang berbasis di Jenewa, yang menyediakan platform elektronik untuk dialog,
refleksi, dan aksi tentang etika di situs internet.
Staf Ahli Kemenminfo, Dr. Henry
Subiakto, SH., M.A. dalam sambutannya menjelaskan bahwa media televisi sekarang
telah menjadi panggung promosi para Dai yang berdampak pada “
- Munculnya fenomena dai selebriti dan dai dadakan
- Muncul kesan komersialisasi agama
- Dakwah sebagai komoditas hiburan
- Substansi agama sebagai tuntutan dikalahkan dengan aspek “tontonan”
1. Revitalisasi
Dakwah
2. Antisipasi
perkembangan ICT
3. Diversivikasi
dakwah
4. Perkuata
penguasaan dan penggunaan ICT
5. ICT
Literasi di masyarakat
6. Mengkritisi
Pelaksanaan Liberalisasi
Dicky Sofian, Ph.D sebagai
pemakalah dalam konferensi tersebut menyampaikan action research dari penelitian selama tahun 2012 diantaranya :
- Transforming knowledge into action
- Science nor for the sake the science
- Prescriptive approach to social science, improving social condition
- The so-called of “problem” in action reseach
Pemakalah lain yaitu bapak Idy
Muzayyad dari KPI juga menjelaskan terkait globalisasi yang menyebabkan global
village sekaligus global pillage (penindasan). Kecenderungan penyiaran agama
adalah parial à
komersialisasi à
Kreatifitas (Isrof) à
Bias à
Orientasi Rating à
Problem Kompetensi.
Menurut saya, materi paling
menarik adalah materi dari ustads Yusuf Mansyur yang menyampaikan pandanganya terhadap
fenomena dakwahtainment. Bagian menarik lainnya adalah sesi terakhir dan saya memilih untuk
mengikuti sesi C yaitu Dakwahtainment, mendidik atau tidak? Dimana ibu Nina
Muthmainnah Armando dari Universitas Indonesia mempresentasikan makalahnya terkait
fenomena ulama penghibur.
Ibu Nina menjalskan bawah
fenomena ulama penghibur jumlahnya semakin banyak di layar kaca, membawa unsur
novelty ( baru, keluarbiasaan, ketidakbiasaan ) antara lain :
1. Secara
fisik menarik
2. Lucu/kocak/suka
melawak
3. Bisa
bernyanyi
4. Bias
berbantun
4 pioint diatas disajikan dengan
contoh langsung para dai yang sering kita jumpai di televisi. Selain fenomena
ulama penghibur, ibu Nina juga menyampaikan bahwa para ulama itu kerap berpotensi
melakukan pelanggaran etika disaat mereka larut menjadi bagian dari pertunjukan
dan tidak menyadari tentang TV sebagai media pblik : khalayak luas dan beragam
serta yang terakhir adalah tidak memahami aturan penyiaran.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga dicontohkan dalam tanyangan nyata yang
ada di televisi.
Begitulah kiranya materi dari
Konferensi Internasional yang saya ikuti. Dalam Konferensi Internasional ini
juga dilakukan peluncuran website dan buku “Agama dan Televisi di Indonesia :
Etika seputar Dakwahtainment” serta penandatanganan MoU ICRS bersama KPID DIY.
0 komentar:
Posting Komentar