Guru para Ulama Besar Nusantara
Tidak banyak ulama asal Indonesia yang menjadi ulama besar di masjid Al-Haram, Mekah. Dari yang sedikit itu, Ahmad Khatib Al Minangkabawi adalah salah satunya. Berkat kepandaiannya dalam penguasaan ilmu – ilmu Islam, ia diangkat menjadi imam dan mengajar di Masjidil Haram, Mekah. Banyak muridnya yang sekembalinya ke tanah air menjadi pelopor pergerakan keagamaan di Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abd Al-Latif bin Abd Al-Rahman bin Abdullah bin Abd Al-Aziz Al-Minangkabawi. Ayahnya bernama Abd Al-Latif dan ibunya Limbak Urai. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Ada dua versi mengenai kelahirannya. Menurut Hamka, Ahmad Khatib lahir pada tahun 1860 M. Sementara Deliar Noer berpendapat bahwa Ahmad Khatib lahir di Bukittinggi pada tahun 1855 M.
Pendidikan diperolehnya dari ulama di tanah kelahirannya dan HBS (Sekolah Rendah) dan sekolah Guru di kota kelahirannya. Setelah itu pada tahun 1887 (versi Delier Noer), ia berangkat ke Mekah untuk belajar sekaligus menunaikan rukun Islam kelima. Di Mekah ia ditampung oleh pedagang buku keturunan Kurdi, Syekh Saleh Al-Kurdi, seorang pengikut madzab Syafi’i.
Kemudian, Ahmad Khatib dinikahkan oleh Syekh Al-Kurdi dengan anak perempuannya, Khatijah pada 1296 H. Martin van Bruinessen (1995) mencatat, bahwa Ahmad Khatib pernah belajar pada Syekh Nanawi Al-Bantani, seorang ulama asal Indonesia yang telah dulu menetap dan mengajar di Mekah. Sumber lain mengatakan, bahwa ia belajar autodidak melalui buku-buku yang dijual mertuanya.
Ahmad khatib dikenal sangat ahli hukum Islam. Banyak buku yang ditulisnya yang mengomentari persoalan keagamaan di Minangkabau dan Jawa. Di Minangkabau, ia mengkritik tarekat Naqsabandiyah dan sistem pembagian waris yang materilinier. Pendapatnya tentang tarekat Naqsabandiyah ditulis dalam tiga buku pada tahun 1324 – 1326 H. Buku ini berjudul Izhharu aqli Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi al-badi’in. Buku yang lain berjudul Al-Ayat al Bayyinah li al-Munshifin Izalah Khurafat Ba’dh al-Muta’ashshibin dan buku ketiganya Al-Salf al-Battar fi Mahq Kalimat Ba’dh Ahli al-Ibthihar. Buku-buku tersebut menunjukan bahwa Ahmad Khatib menganggap bahwa banyak bidah yang dilakukan dalam praktek tarekat Naqsabandiyah.
Pemikiran yang mengkritik tarekat Naqsabandiyah ini sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh, seorang reformis Islam dari Mesir. Abduh berpendapat bahwa tarekat Naqsabandiyah harus dilenyapkan dari dunia Islam. Meski begitu, pemikiran Abduh yang lain, seperti Islam tanpa menganut Mahzab (Hanafi, Malik, Syafi’I, dan Hambali ) ditentang oleh Ahmad Khatib. Hal ini menunjukan bahwa Ahmad Khatib merupakan seorang Ulama yang sangat memegang teguh prinsipnya.
Sebagai seorang guru, ia tidak memaksa murid-muridnya untuk menerima sepenuhnya pemahaman yang diajarkannya. Mereka dibebaskan untuk membaca karya-karya para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Hal ini sebagai bentuk toleransi Ahmad Khatib terhadap murid-muridnya.
Ahmad Khatib juga dikenal dengan ahli hisab dan hitung. Bukunya di bidang ini adalah Al Jawahir al-Naqqiyah fi al’Amal al-Jaibiyah (Kairo, 1891) dan Raud al-Husab fi Ilmi al Hisab (Kairo, 1892). Kedua buku ini membahas tentang pedoman untuk menentukan tanggal dan kronologis, serta ilmi berhitung dan ukur sebagai alat bantu untuk merumuskan hukum Islam.
Dalam bidang perbandingan agama, Ahmad Khatib juga menulis buku Irsyad al-Hayara fi Izalah ba’dhi Syibhi al-Nashara. Buku ini merupakan uraian masalah polemik antara orang Islam dan Nasrani. Saai itu di Jawa, orang muslim banyak diajak orang Kristen untuk adu argumentasi mengenai agama Islam.
Ada kisah menarik tentang Ahmad Khatib dalam menghadapi orang yang sempat ragu dengan doktrin keislamannya dan menjadi atheis. Ceritanya, tahun 1906 Agus Salim berangkat ke Mekah untuk bekerja sebagai penerjemah Konsulat Belanda.
Ketika masih di Indonesia Agus Salim adalah seorang murid yang brilian dan menguasai enam bahasa asing ( Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jerman dan Jepang ). Namun pikirannya teracuni dengan buku-buku yang ditulis orang Eropa yang kebakan atheis.
Di Arab, Agus Salim bertemu dengan Ahmad Khatib, yang merupakan pamannya sendiri. Selama bekerja di Arab, Agus Salim sering berdiskusi dengan Ahmad Khatib. Mengetahui bahwa sang kemenakan telah menjadi seorang skeptic dengan ajaran Islam, Ahmad Khatib berusaha menyadarkannya.
Metode pengajaran yang dilakukan berbeda dengan orang yang memang belajar Islam. Karena Agus Salim sangat pandai, Ahmad Khatib mengajaknya mendiskusikan tentang Islam. Agus Salim tidak gampang terbujuk, ia membandingkan Islam dengan doktrin dan ideology lain. Namun karena Ahmad Khatib mampu menjawab semua pertanyaan Agus Salim akhirnya ia berhasil menobatkan sang kemenakan untuk kembali mengenal Islam.
Ahmad Khatib memilih tinggal di Mekah sampai wafat pada tahun 1916. Ahmad Khatib memang sosok yang bersahaja. Tidak pernah melupakan Indonesia meski sudah menetap di Arab. Hubungan dengan Indonesia dijalani melalui murid-muridnya atau orang yang naik haji. Banyak ulama Indonesia yang belajar ke Mekah dan menjadi murid Ahmad Khatib. Diantara mereka, Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah(, Hasyim Asy’ari(pendiri NU), Syekh Muhammad Jamil Jamnek, Haji Abdul Karim Amrullah (ayah HAMKA), Haji Abdullah Ahmad(Minangkabau) dan Syekh Sulaiman Al-Rasuli (Candung, Bukittinggi). Kritik-kritik yang tajam terhadap ajaran Islam yang salah, tidak membuatnya dijauhi umat Islam, tapi malah semakin dicintai oleh umat Islam.
AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWI
Guru para Ulama Besar Nusantara
Nama Lengkap : Ahmad Khatib bin Abd Al-Latif bin Abd Al-Rahman bin
Abdullah bin Abd Al-Aziz Al-Minangkabawi
Lahir : Bukittinggi, 1880 M ( Versi Hamka ), 1855 (Versi Deliar Noer)
Ayah : Abd Al-Latif
Ibu : Limbak Urai
Paman : Sultan Muhammad Salim ( ayah dari Agus Salim )
Wafat : Mekah, 1916 M
Karier : Imam dan pengajar di Masjidil Haram Mekah
Pendidikan : HBS (Sekolah Rendah), Sekolah Guru di Bukittinggi, Belajar pada
Syekh Nanawi Al Bantani di Mekah (1887)
Karya Tulis : Risalah Naqsabandi, al-Da’I al-Masmu’ fi al-Radd ala Man Yurits
Al-Ikhwan (1892), Al jawahir al-Naqqiyah fi al’Amal al-Jaibiyah
(Kairo, 1891), Raud al-Husab fi Ilmi al Hisab (Kairo, 1892),
Irrsyad al-Hayara fi Izalah ba’dhi Syibhi al-Nashara.