MENJAGA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM SEBUAH RUMAH BERSAMA
Oleh :
Hardika Dwi Hermawan
NIM. 11520241004
Pendidikan Teknik Informatika
Pendidikan Teknik Elektronika
Fakultas Teknik
ABSTRAK
Tulisan ini memberikan gambaran tentang masalah-masalah kerukunan umat beragama di Indonesia, hubungan konflik, agama dan Negara, serta bagaimana seharusnya kita menjaga kerukunan umat beragama dalam sebuah rumah bersama.
Berbagai macam konflik yang berlatar belakang simbol agama yang terjadi di Indonesia merupakan hal yang perlu dihindari karena dapat membahayakan kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Sikap tidak toleran antar kelompok biasanya menjadi alasan seuatu kelompok bersinggungan yang akhirnya menimbulkan konflik yang suatu saat dapat membesar jika tidak segera dilakukan upaya-upaya pencegahan. Terlebih lagi yang terjadi pada suatu kelompok agama tertentu. Menjaga kerukunan umat beragama sudah seyogyanya kita ibaratkan sebagai rumah bersama, dimana kita harus menjaga hubungan antar penghuni dalam satu rumah tersebut, menghindari perselisihan dan cepat tanggap terhadap permasalahan walaupun kecil sebelum masalah tersebut menjadi hal yang besar dan dapat mengganggu keharmonisan hubungan dalam rumah menjadi tanggung jawab penghuni rumah.
Dalam menjaga kerukunan umat beragama, perlu adanya pemahaman antara hal yang mengandung unsur sensitifitas suatu umat beragama dan ditanamkannya sikap common responsibility, common suffering dan commen ethic.
Kata kunci : kerukunan umat beragama ibarat rumah bersama, konflik, agama dan Negara.
I. PENDAHULUAN
Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang plural dan multi religius, menjadikan tuntutan akan lahirnya spiritualitas keberagaman yang sejuk, ramah dan mengayomi sangat diidam-idamkan. Untuk konteks masyarakat dalam keberagaman, hal ini merupakan modal penting dalam rangka menjaga kerukunan beragama. Pada saat ini, hal tersebut menjadi sangat strategis bagi berbagai kalangan.
Pluralitas yang semakin kompleks ini di satu sisi merupakan berkat bagi masyarakat, tetapi di sisi lain dapat menjadi ancaman keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa. Saling pengertian antara pihak yang berselisih akan sulit tercapai manakala salah satu pihak tidak bersikap toleran. Dalam toleran itu sendiri bermakna upaya menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan secara maksimal.
Seperti yang diungkapkan oleh Pembantu Deputi Bidang Politik Nasional Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Pol) Manahan Daulay, bahwa kunci kerukunan antar umat beragama terletak pada toleransi. (Adam/AntaraNews.2011. http://www.antaranews.com/berita/1305890177/konflik-agama-timbul-karena-umat-tak-toleran)
Negara menjamin kebebasan beragama dan menjalankan agamanya masing-masing sesuai dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Demikian juga dengan UUD 1945 pasal 28E dan pasal 28I yang menegaskan hak beragama tiap-tiap warga Negara.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memikirkan upaya untuk memperjuangkan dan menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya keharmonisan sosial yang hakiki (bukan kerukunan yang hanya lahir karena faktor ketakutan atau perundang-undangan). Memperjuangkan dan menciptakannya adalah tugas semua pihak dan semakin tidak mungkin lagi ada suatu kelompok yang mengasingkan diri dari tugas dan tanggung jawab bersama ini, terutama kelompok agama.
A. RUMUSAN MASALAH
1. Konflik vertikal apa saja di Indonesia yang mengganggu kerukunan umat beragama?
2. Mengapa kerukunan umat beragama dapat dianggap ibarat rumah bersama?
II. PEMBAHASAN
A. KONFLIK, AGAMA DAN NEGARA
Pada dasarnya, agama dan keyakinan merupakan unsur penting dalam keragaman bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya agama yang diakui di Indonesia. (Elly M. Setiadi,dkk, 2007:147)
Menurut Pdt. Hotler A. Manurung (2010:2), Negara dan agama adalah dua entitas yang otonom namum keduanya tidak terpisahkan dan saling membutuhkan.
Kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa disatu pihak Negara mendorong kehidupan keagamaan agar setiap pemeluk agama yang berbeda-beda itu dapat dengan leluasa menunaikan ibadah agamanya serta menjaga kerukunan beragama. Dipihak lain, agama berperan memberikan landasan moral, etik dan spiritual dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan Negara. Negara membutuhkan agama agar kehidupan masyarakat dan bangsa itu adalah kehidupan yang bermoral dan beretika yang bersumber dari ajaran agama.
Karakteristik konflik di Indonesia berawal dari hal-hal sepele. Konflik yang menggunakan simbol-simbol agama jelaslah sangat berbahaya karena akan sulit penyelesaiannya dan akan sangat rumit.
Pluralitas keragamaan dalam kehidupan masyarakat kita tidak berhenti pada keragaman agama-agamanya, akan tetapi juga keberagaman aliran, paham atau mahzab dalam masing-masing agama yang kemudian masing-masing membentuk lembaga yang mewadahi keragaman aliran dan organisasinya masing-masing.
Contoh konflik vertikal yang terjadi di Indonesia di tahun 2011 ini, diantaranya :
1. Kasus penusukan pendeta KHBP di Cikengting, Bekasi.
2. Kasus penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang pada 6 Februari 2011.
3. Kasus ketidakpuasan terhadap proses pengadilan, sekelompok umat tertentu melakukan penyerangan terhadap beberapa tempat ibadah umat lain di Temanggung, pada hari Selasa 8 Februari 2011.
4. Kasus rumah ibadah di Taman Yasmin, Jakarta pada hari Minggu, 30 Oktober 2011.
Berbagai kebijakan dan peraturan sudah dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan dan memaksimalkan upaya pencegahan konflik, seperti dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri nomor 9 tahun 2006 dan nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepada Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Apabila peraturan-peraturan itu dipahami, suasana yang ramah dan sejuk dalam kehidupan beragama akan tercapai.
Forum Kerukunan Umat Beragama yang dibuat sebagai wadah untuk berdialog dan menjaga kerukunan antar umat beragama sudah barang tentu tidak dimaksudkan untuk menjadikan warga Indonesia menjadi “kita” dalam satu jenis wadah keagamaan. Ia lahir agar seluruh bangsa Indonesia menjadi “kita” dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan.
Itulah karenanya perlu penanaman sikap moral dalam bentuk tanggung jawab bersama (common responsibility) untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa bangsa dan NKRI yang kita cintai ini. Kita sebagai bangsa harus merasakan semuanya itu sebagai penderitaan bersama (common suffering) yang sedang melanda bangsa Indonesia, dimana semua warga Negara menghendaki adanya tanggung jawab bersama. Tanggung jawab bersama ini tentunya harus muncul dari sikap dan perilaku moral bersama (common ethic) warga Negara.
B. KERUKUNAN UMAT BERAGAMA IBARAT RUMAH BERSAMA
Memandang konflik agama yang kerap terjadi di Indonesia seperti yang telah diulas sebelumnya. Kalau kita ibaratkan kerukunan umat beragama itu adalah sebuah rumah bersama yang dihuni oleh orang-orang bersaudara. Maka persoalannya adalah bagaimana para penghuni rumah itu mengisi dan menata kehidupan bersama mereka sehingga rumah itu akan benar-benar menjadi milik bersama, sama-sama bertanggung jawab memeliharannya, sehingga akan menjadi sebuah rumah yang bukan hanya indah, namun juga nyaman dan menyenangkan bagi setiap penghuninya.
Dalam rumah itu harus ada ketentuan-ketentuan yang lahir dari kesepakatan bersama untuk mengatur dan membatasi apa yang “benar” dan apa yang “salah”, apa yang “pantas” dan apa yang “tidak pantas” dalam pergaulan di dalam rumah bersama tersebut. Hal ini harus diupayakan oleh semua penghuni rumah itu secara bersama-sama dan tidak boleh ada siapapun yang merasa paling berhak, karena itu adalah tugas dan tanggung jawab bersama.
Bagi masyarakat Indonesia yang majemuk, seperti yang telah disinggung di depan, upaya untuk merumuskan kesepakatan demi kesepakatan tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena masalah agama atau keyakinan merupakan bagian yang menempati ranah terdalam dalam jiwa manusia. Dengan keberadaanya itu maka agama memiliki sensifisitas yang luar biasa sehingga banyak orang yang rela berkorban untuk agama sekalipun nyawa yang menjadi taruhannya. Ini merupakan kenyataan psikologis yang tidak mungkin dapat digantikan atau ditukar dengan aspek psikologis lainnya. Itulah karenanya, perlu diperkenalkan dan dijelaskan aspek-aspek apa saja dari agama tertentu yang melahirkan sensifisitas keagamaan.
Setiap kelompok pasti selalu mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan jati dirinya. Namun demikian, kerukunan umat beragama harus tetap dijaga dan mengupayakan secara berkelanjutan dalam meminimalisasi konflik-konflik yang kerap muncul.
Selama ini memang sudah sering terdengar himbauan untuk tidak membicarakan masalah-masalah keagamaan yang dapat menginggung keyakinan agama lain. Akan tetapi apa yang diduga dari kelompok agama tertentu sebagai sesuatu yang sensitif, boleh jadi tidak termasuk kategori sensitif menurut para pengikutnya, atau dapat juga sebaliknya. Hal ini juga dimungkinkan karena para pelaku yang belajar agama tidak pernah belajar dari para pelakunya secara langsung. Oleh karena itu, belajar tentang ajaran suatu agama dari para pelaku agama menjadi sangat penting untuk menghindari kekeliruan tersebut.
Menurut Ali Noer Zaman (2011) dalam tulisannya yang berjudul “Membaca Konflik Agama di Indonesia” menyatakan bahwa, yang tak kalah pentingnya adalah peran tokoh-tokoh agama yang harus memberikan pemahaman keragaman yang damai dan tidak menonjolkan perbedaan untuk mendeskriditkan orang lain.
Dalam Islam, menyatakan bahwa urusan kebenaran agama adalah urusan pribadi (bagimu agamamu, bagiku agamaku), yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.
III. PENUTUP
Berdasarkan ulasan, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa, semakin kompleks pluralitas masyarakat Indonesia semakin banyak hal sensitive yang dapat menimbulkan konflik terutama masalah keyakinan atau agama yang memang kerap terjadi di Indonesia. Hal tersebut menjadikan pentingnya hubungan yang dinamis antar agama itu tidak menempatkan kerukunan hanya sebatas kerukunan. Sebab kerukunan itu haruslan kerukunan yang dinamis, kreatif, dan produktif.
Antar agama perlu saling memahami hal-hal yang menjadi sensifitasnya. Selain ini, perlu juga adanya dialog antar agama yang meliputi pula dialog dengan masalah dan problema yang dihadapi bersama sebagai satu masyarakat, satu bangsa dan satu Negara. Dengan demikian, seorang yang beriman akan memandang persoalan mereka dari agama lain sebagai persoalaannya pula. Dengan menanamkan sikap common responsibility, common suffering dan commen ethic, diuharapkan keharmonisan hubungan yang nyaman, sejuk, damai dan menyenangkan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Adam/www.antaranews.com. 2011. http://www.antaranews.com/berita/1305890177/konflik-agama-timbul-karena-umat-tak-toleran, diakses pada hari Senin, 12 Desember 2011 pada pukul 08:30.
Ali Noer Zaman, dkk/www.today.co.id. 2011. http://today.co.id/read/2011/03/04/14561/membaca_konflik_agama_di_indonesia, diakses pada hari Senin, 12 Desember 2011 pukul 08:35.
Febriana/www.kbr68h.com. 2011. http://www.kbr68h.com/berita/daerah/15070-penasehat-presiden-izin-rumah-ibadah-picu-konflik-agama-, diakses pada hari Senin 12 Desember 2011 pukul 08:40.
Guruh Dwi Riyanto/www.kbr68h.com. 2011. http://www.kbr68h.com/berita/daerah/14502-gki-taman-yasmin-bakal-gugat-negara, diakses pada hari Senin 12 Desember 2011 pukul 0841.
Hadziq Jauhary/www.suaramerdeka.com. 2011. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/03/30/81621, diakses pada hari Senin, 12 Desember 2011 pukul 08:37.
---. 2009. Konstitusi Indonesia UUD 1945. Pustaka Timur : Yogyakarta.
---/www.babinrohis-nakertrans.org. 2011. http://www.babinrohis-nakertrans.org/berita-utama/suryadharma-ali-konflik-agama-dan-etnis-sangat-berbahaya, diakses pada hari Senin 12 Desember 2011 pukul 08:25.
---/edukasi.kompasiana.com. 2011. http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/08/konflik-agama-dan-proyek-sponsor/, diakses pada hari Senin 12 Desember 2011 pukul 08:38.